Ini Alasan Kenapa Program Bumdes Kurang Disukai Masyarakat


Secara konsep dan praktik, program dan kegiatan Bumdes sangat bagus untuk pembangunan masyarakat. Program Bumdes bersifat berkelanjutan dan berdampak ekonomi ke masyarakat. Maka tidak heran pemerintah memberi perhatian serius kepada Bumdes sehingga mendorong setiap desa untuk tidak segan-segan memberi suntikan modal ke Bumdes. Tetapi sayangnya hal ini secara umum tidak dapat dipahami secara tepat oleh masyarakat. Tidak adanya pemahaman yang tepat ini mengakibatkan pemerintah desa rata-rata enggan memberikan dana penyertaan modal yang besar untuk Bumdes. Kebanyakan orang, mereka memahami Bumdes kurang memberi manfaat dan berdampak kecil untuk orang secara umum. Berikut adalah beberapa pandangan yang kurang tepat terhadap Bumdes.

  1. Program yang baik adalah program yang berdampak langsung secara instan
  2. Bumdes hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat
  3. Distribusi hasil Bumdes sangat kecil dibandingkan distribusi bantuan sosial pemerintah
  4. Masyarakat inginnya ikan, bukan pancing
  5. Mindset cenderung meminta dan menerima, dibanding bekerja. 
1. Program yang baik adalah program yang dirasakan langsung secara instan

Kegiatan dan program yang sifatnya instan sangat disukai oleh masyarakat. Contohnya adalah dana bantuan sosial seperti gelontoran dana desa untuk bantuan langsung tunai (BLT) yang langsung masuk di rekening masyarakat. Dana tersebut bisa langsung dipakai oleh masyarakat sesuai kebutuhannya. Dana-dana instan seperti ini sifatnya konsumtif, bukan produktif. Prinsipnya asal sudah disalurkan ke masyarakat maka tugas sudah selesai, dan pasti masyarakat senang. Tidak ribet, tidak capek, tidak pusing memutar dananya. Ini tentu berbeda sekali dengan program Bumdes yang sifatnya pemberdayaan ekonomi dan berkelanjutan. Dana yang dikelola harus diupayakan tidak habis tapi malah harus berkembang. Jadi secara prinsip memang berbeda, program seperti bantuan sosial sifatnya langsung habis dan sangat disukai warga karena langsung dirasakan secara cepat dan instan, sedangkan program Bumdes sifatnya memberdayakan warga agar lebih produktif dan berupaya dana yang dikelola tidak habis atau sekali pakai. Misalkan Bumdes memberi bantuan sosial pun dananya diambil dari hasil usaha yang dikelola, dan itu dapat dipastikan tidak terlalu besar.

2. Bumdes hanya menguntungkan sekelompok kecil masyarakat
Pemahaman yang salah kedua adalah bahwa Bumdes memberi manfaat pada masyarakat secara terbatas. Jika dibandingkan dengan program bantuan sosial tentu juga akan kalah jauh. Contoh sederhana saja, pemerintah desa menyalurkan Dana Desa sebesar 400 juta untuk Bansos seperti BLT DD, tentu dana tersebut jika didistribusikan langsung pada masyarakat maka jumlah penerima bisa mencapai 111 orang dengan bantuan sebesar Rp 300,000 per bulan. Berbeda sekali jika 400 juta dikelola oleh Bumdes, maka pengurus Bumdes akan memutar otak untuk menjaga aset tersebut semaksimal mungkin. Pengurus Bumdes akan berbagi hasil dari pendapatan yang diterima. Pendapatan itu pun akan dibagi-bagi sesuai plot AD ART Bumdes meliputi PAD, laba ditahan, Penasihat, Pengawas, Pelaksana Operasional, dan lain-lain. Dana sosial mungkin ada tetapi pasti akan kecil sekali jumlahnya. Itu pun pembagiannya di akhir tahun semua. Memang ada beberapa orang yang diberdayakan yaitu warga yang aktif menjadi staff di unit usaha Bumdes. Kondisi demikianlah yang membuat anggapan salah kaprah bahwa Bumdes berdampak kecil pada masyarakat. Mereka tidak memahami karakter Bumdes untuk menjaga dan mengembangkan aset yang dimiliki.

3. Distribusi hasil Bumdes sangat kecil
Sebenarnya pandangan tersebut adalah pandangan orang awam yang memang perlu diedukasi karena belum memahami karakter Bumdes. Bumdes sesuai karakternya berbagi hasil jika mendapatkan keuntungan. Misal pun keuntungan usahanya besar, pasti distribusi bagi hasilnya akan kecil karena ada pembagian laba seperti disebutkan di atas. Taruh saja aset Bumdes 1 miliar dan usahanya mendapatkan laba bersih 100 juta, maka akan dibagi menjadi beberapa persen. Inilah karakter Bumdes dimana aset diupayakan tidak berkurang bahkan bertambah, dan di sisi lain Bemdes didorong memberikan laba kepada masyarakat. Andai saja Bumdes dananya langsung dihabiskan tanpa ada sisa, tentu distribusinya akan berasa di masyarakat. Tapi itu tentu akan salah besar karena program Bumdes harus berkelanjutan dan mengupayakan asetnya berputar untuk peningkatan ekonomi masyarakat.

4. Masyarakat inginnya ikan, bukan pancing
Rata-rata pola pikir seperti ini merata di desa-desa, bukan hanya warga tetapi juga pemerintah desa. Mereka lebih suka distribusi dana seperti memberikan ikan kepada warga yakni bersifat konsumtif dan tinggal makan. Hampir jarang kebijakan program desa yang sifatnya seperti memberi pancing dimana masyarakat diberi fasilitas untuk mendapatkan ikan. Fasilitas inilah sebagai program pemberdayaan kepada warga seperti penguatan skill kerja, membangun mindset produktif daripada konsumtif, merubah mentalitas meminta dan menerima menjadi mental memberi dan bekerja keras. Mental ikan cenderung pasif dan konsumtif, sedangkan mental pancing cenderung aktif dan produktif. 

5. Mindset meminta dan menerima
Program bantuan sosial tidak ada jeleknya, bahkan bagus dan dianjurkan oleh agama apapun. Zakat, hibah, sedekah dan sejenisnya adalah bagian dari kegiatan sosial. Tetapi mesti dipahami bahwa kegiatan penggunaan dana yang sifatnya sosial dan sekali habis itu sedikit banyak menanamkan mental meminta dan menerima, bukan mental bekerja. Maka ada istilah baru muncul yaitu zakat produktif yang tujuannya penerima zakat didorong menggunakan dana yang dimiliki untuk kegiatan usaha. Memang lebih mudah mengelola dana bansos karena intinya menyalurkan kepada penerima manfaat. Pengelola tidak perlu pusing membuat kegiatan yang sifatnya menggerakkan masyarakat. 

Secara agama, bisa dikatakan distribusi dana sosial yang bersifat konsumtif ibarat menanamkan mental tangan di bawah (mental menerima), sedangkan kegiatan pemberdayaan ekonomi ibarat membangun mental tangan di atas. Berapapun dana bantuan sosial akan mudah habis, berbeda dengan program pemberdayaan ekonomi yang meskipun habis karena resiko rugi atau bangkrut tapi durasinya tetap lebih lama. Memang beda, mental belanja dengan mental bekerja.

Kesimpulan
Bumdes pada dasarnya sangat positif dan bisa jadi tumpuan roda ekonomi desa jika dapat dikelola dengan baik sekaligus dapat dipahami masyarakat sebagai lembaga yang bermanfaat. Bermanfaat tentu tidak dipahami secara instan tetapi berkelanjutan. Maka edukasi kepada masyarakat untuk menjadi produktif dan semangat bekerja harus terus didengungkan, dari hati ke hati, dari obrolan-obrolan santai, dari forum ke forum, dan dari kopdar di warung kopi.

0 Comments